CERITA SEX Puasin Calon Istri Orang
tersyuur adalah Blog yang menampilkan Cerita Sex Terbaru 2016, Cerita Seks Kenikmatan, Cerita Tante Girang, Cerita Seks Teman
Sekantor, Cerita seks dewasaCerita Dewasa Terhits, Cerita Mesum, Cerita Bokep,
Cerita Porn, Cerita Seks Dewasa, Foto Sex secara gratis dan selalu update || Puasin Calon Istri Orang
Kejadian ini terjadi sekitar Desember 2005, dimana waktu itu aku
masih kuliah disalah satu universitas terkenal dikotaku. Sebagai
mahasiswa lajang, aku sering mempunyai waktu bebas yang cukup banyak dan
aku hanya menggunakannya untuk sekedar jalan-jalan, mencari hiburan
menggoda cewek-cewek yang sedang nognkrong ditaman. Karena aku orang
yang sangat supel, jadi aku bisa dengan mudah berkenalan dengan siapa
saja walaupun aku sama sekali aku belum mengenalnya. Selain itu au juga
didukung dengan wajah yang tampan dan penampilanku yang selalu menarik,
maknaya para wanita para luluh jika aku dekati.
Sore itu aku hendak jalan-jalan disekitar taman, baru sebentar aku
jalan-jalan aku melihat ada seorang gadis sendirian. Dari agak kejauhan
aku melihat wanita itu masih muda, selain itu dia juga sangat manis
sekali, kulitnya putih bersih, hidungnya agak sedikit pesek, namun dari
kesampingan aku melihat payudaranya sungguh padat sekali, berukuran
kira-kira 36B. dengan sifat pemberaniku aku langsung menghampiri wanita
tersebut dan mengajaknya untuk berkenalan. Saat kujulurkan tanganku
untuk mengajaknya berkenalan, diapun dengan tersenyum menyambut uluran
tanganku sambil menyebutkan namanya. Wanita itu bernama Nindy, dan
setelah kita ngobrol dengan asiknya, Nindy bilang kalau dia akan pulang,
dan tanpa aku ngomong untuk bareng, Nindy sudah menawariku untuk pulang
bareng, dan tanpa menolak lagi, aku langsung menyetujuinya.
![]() |
| Puasin Calon Istri Orang |
Akhirnya, aku pun setuju, dan segera berangkat bersamanya. Di dalam
mobil, aku tak bisa tenang karena ketika menyetir, aku bisa melihat
dadanya yang montok dan paha mulusnya bergerak gesit menguasai kemudi.
Tapi dia tidak menyadari itu, karena aku tahu dia tidak akan suka. Hal
itu kusadari dari pembicaraan sebelumnya. Dia kelihatannya wanita
baik-baik. Tapi konsentrasiku sangat terganggu apalagi jalanan di kota
Surabaya yang tidak rata membuat dada indah yang bersembunyi di balik
bajunya bergoyang-goyang. Ditambah lagi harum tubuhnya yang sangat
merangsang. Akhirnya timbul pikiran jahat di otakku.
“aku pindah ke belakang ya..” kataku.
“Kenapa?”
“aku ngantuk, mau tiduran, nanti turunkan aku di jalan Kertajaya”, kataku berpura-pura.
Saat itu sejuta rencana jahat sudah merasuki otakku.
“Ok, tapi kamu jangan terlalu pulas ya.. nanti ngebanguninnya susah”, katanya polos.
Di kala otakku sudah kesetanan, tiba-tiba..
“Jangan berisik atau pisau ini akan merobek lehermu”, ancamku seraya
menempelkan pisau lipat yang biasa kubawa. Itu sudah menjadi kebiasaanku
sejak di Medan dulu.
“Don.. apa-apaan nihh..?” teriaknya gugup, karena terkejut.
“aku peringatkan, diam, jangan macam-macam!” bentakku sambil menekan permukaan pisau lebih kuat.
aku sudah kehilangan keseimbangan karena nafsu.
“Jalankan mobilnya dengan wajar, bawa ke daerah Petemon.. cepat..!”
“Ehh.. iiya.. iyahh..” jawabnya dengan sangat ketakutan.
Tas yang tadi diletakkan di jok belakang segera kubuka. Seluruh uang dan kartu kreditnya langsung berpindah ke kantongku.
“Bawa ke Pinang Inn.. cepat!” bentakku lagi.
Kali ini aku sudah pindah ke jok depan, dan pisau kutempelkan di
pinggangnya. Sepanjang perjalanan wajahnya pucat dan sesekali
memandangiku, seolah minta dikasihani.
“Jangan mencoba membuat gerakan macam-macam.. atau kamu kulempar ke jalan.. mengerti?” ancamku lagi sambil berganti posisi.
aku mengambil alih kemudi. Entahlah, saat itu aku merasa bukan diriku
lagi. Mungkin iblis sedang menari-nari di otakku. Dia hanya membisu,
dengan tubuh gemetar menahan rasa takut. Tiba-tiba HP-nya berbunyi,
kurebut HP itu dan kuhempaskan di jalan sampai pecah.
“Ingat.. jangan bertindak aneh-aneh.. kalau masih ingin hidup..” pesanku sesampainya di parkiran Pinang Inn.
Mobil langsung masuk garasi, dan aku menghubungi Front Officer. Kubayar, lalu kembali ke garasi.
“Keluar..!”
Mobil langsung masuk garasi, dan aku menghubungi Front Officer. Kubayar, lalu kembali ke garasi.
“Keluar..!”
Dengan wajar kugandeng dia masuk kamar. Kukunci dan kusuruh dia
telentang di kasur yang empuk. Kunyalakan TV channel yang memutar
film-film biru. Pinang Inn memang disediakan untuk bermesum ria. Dia
kelihatan semakin ketakutan, ketika melihatku langsung membuka baju dan
celana. Dengan hanya menggunakan celana dalam, kurebahkan tubuhku di
sampingnya dengan posisi menyamping. Pisau itu kugesek-gesek di sekitar
dadanya.
“Agar proses ini tidak menyakitkan, kamu jangan bertingkah.. atau besok mayatmu sudah ditemukan di laut sana.. paham?”
“Don.. ke.. ke.. napaa.. jadi be.. gii.. ni? Apa.. salahku?” dengan ketakutan dia berusaha membuatku luluh.
“Salahmu adalah.. kamu memamerkan tubuhmu di hadapan singa lapar..”
“Salahmu adalah.. kamu memamerkan tubuhmu di hadapan singa lapar..”
Segera, seluruh bajunya kusobek dengan pisauku yang tajam. Mulai dari
bagian luar sampai dalamnya. Kini dia telanjang bulat di antara
serpihan pakaian mahal yang kusayat-sayat. Dia menagis, mata sipitnya
bertambah sipit karena berusaha menahan air mata yang mulai mengalir
deras ditingkahi isaknya yang sesenggukan. Sejenak aku tertegun
menyaksikan keindahan yang terpampang di hadapanku. Dada putih mulus
yang montok, tubuh langsing, dan.. ups.. liang kemaluannya yang merah
muda bersembunyi malu-malu di antara paha yang dirapatkannya. Kubuka
pahanya.
“Jangann Don.. kumohon jangan..” pintanya memelas. aku sudah tidak peduli.
“Hei.. Nin.. bisa diam nggak? Mau mati? Hah..?” ancamku sambil
menampar pipinya. Wajahnya sampai terlempar karena aku menamparnya cukup
keras.
“Silakan menjerit.. ini ruangan kedap suara.. ayo.. menjeritlah..”, ejekku kesenangan.
Segera kulebarkan pahanya, kuelus permukaan kemaluannya dengan lembut
dan berirama. Sesekali dia menatapku. Ada juga desah aneh di bibirnya
yang tipis. aku terus mengelus kemaluan itu, sambil dua jariku yang
menganggur mempermainkan puting susunya bergantian. Dia hanya bisa
mendesah dan menangis. Kudekatkan wajahku ke sela paha mulusnya. Dengan
perasaan, kukuak liang kemaluannya, indah sekali. Seumur hidup, baru
kali ini aku melihat kemaluan wanita seindah itu. Bentuknya agak
membukit mungil, ditumbuhi bulu yang halus dan lemas. Bibir kemaluannya
kupegang, kemudian lidahku kujulurkan memasuki lubang yang nikmat itu.
Kujilati dengan perlahan, mengitari seluruh permukaannya.
“Shh.. Don.. Donhh.. jangaann.. sshh..” Nindy sampai terduduk.
Ada sesuatu yang lucu. Dalam situasi itu sempat-sempatnya dia
menggoyang pinggulnya mendesak mulutku, dan menjambak rambutku sesekali.
Dalam hati aku tertawa, “Dasar wanita.. munafik.”
“Ayo.. Nin.. ayo..” kataku pelan mengharap cairan itu segera keluar
membasahi kemaluan indahnya. Saat itu kesadaranku perlahan hadir.
Perlakuanku kubuat selembut mungkin, namun tetap tegas agar Nindy tidak
bertindak ceroboh.
Kali ini lidahku mengait-ngait klitorisnya beraturan namun dengan
arah lidah acak. Dia makin bergetar. Goyangan pinggulnya terasa sekali.
“Lho.. diperkosa kok malah enjoy.. ayo.. nangis lagi.. mana..?” olokku.
“Don.. jangannhh.. janganh..” balasnya malu-malu, berusaha menggeser
kepalaku dari selangkangannya. Tapi setelah kepalaku digerakkan ke
samping, malah ditariknya lagi hingga mulutku langsung terjatuh di bibir
kemaluannya. aku pun paham, dia ingin menunjukkan ketidaksudiannya,
namun di lain pihak, dia sangat menginginkan sensasi itu.
“Nih.. aku kasih bonus.. silakan menikmati..” kataku sambil melanjutkan jilatanku.
Sementara tanganku yang kiri membelai payudaranya bergiliran secara
adil. Kiri dan kanan. Sementara tangan kananku kuletakkan di bawah
pantatnya. Pantat seksi itu kuremas sesekali.
“Oghh.. sshh..”
Nindy menggelinjang menahan nafsu yang mulai merasuki dirinya. Sesaat
dia lupa kalau sekarang dia dalam keadaan terjajah. “Sshh..
terrusshh..”
Perlahan lahan, cairan yang kunanti keluar juga. Secara mantap,
lendir bening itu mengalir membasahi liang kemaluannya yang semerbak.
“Donnhh.. Donhh..” Dia berteriak di sela orgasmenya yang kuhadiahkan secara cuma-cuma.
“Aduh.. Nin.. yang benar aja dong..” ringisku karena saat orgasme tadi, kukunya yang lentik melukai pundakku.
“Maaf.. maaf Donhh..”
aku berhenti sesaat untuk memberinya waktu istirahat. aku berdiri di
samping ranjang. Dia terkulai lemas. Pahanya dibiarkan terbuka. Kemaluan
genit itu sudah mengundang penisku untuk beraksi. Namun aku berusaha
menahan, agar pemerkosaan ini tidak terlalu menyakitkan. Kami
berpandangan sejenak. Dia sudah tidak melakukan perlawanan apa-apa,
pasrah.
“Don.. aku tahu kamu sebenarnya baik, jangan sakiti aku yah.. aku mau
menemani kamu di sini, asal kamu tidak melukai aku..” pintanya sambil
mengubah posisi telentangnya menjadi duduk melipat lututnya ke bawah
pantat. Liang kemaluannya agak tersembunyi sekarang.
“Kamu masih perawan nggak?” tanyaku ketus.
“Iyah.. masih..”
“Nah.. sayang sekali, kalau mulai besok kamu sudah menyandang gelar tidak perawan lagi..”
“Ah..” dia tercekat.
“Don.. semua uang tadi boleh kamu ambil.. tapi mohon jangan yang kamu
sebut barusan.. empat hari lagi aku menikah Don.. kumohon Don..”
“Ah.. daripada cowok lain yang merasakan nikmatnya darah segar kamu,
mending aku curi sekarang..” kataku cepat sambil mendekatinya lagi.
“Don.. jangan.. kumohon..”
“Diam!”
“Ingat.. pisau ini sewaktu-waktu bisa mengeluarkan isi perutmu..” ancamku.
Nindy terkejut sekali, karena menyangka aku sudah berbaik hati.
Padahal aku juga tidak sungguh-sungguh marah padanya. Mungkin karena aku
yang sudah terbiasa berteriak-teriak membuatnya ketakutan.
“Sekarang giliranmu”, kukeluarkan penisku yang sudah agak terkulai.
“Kupikir aku nggak perlu menjelaskan lagi cara membangunkan preman yang satu ini..” katakusambil mengarahkan kepalanya berhadapan dengan batang kemalauanku yang lumayan besar. Sejenak dipandanginya diriku. Tanpa berkata apa-apa dia memegang penisku dan mengocoknya perlahan. Dikocoknya terus sampai perlahan, si batang andalanku naik.
“Kupikir aku nggak perlu menjelaskan lagi cara membangunkan preman yang satu ini..” katakusambil mengarahkan kepalanya berhadapan dengan batang kemalauanku yang lumayan besar. Sejenak dipandanginya diriku. Tanpa berkata apa-apa dia memegang penisku dan mengocoknya perlahan. Dikocoknya terus sampai perlahan, si batang andalanku naik.
“Cuma itu?” tanyaku lagi.
Dibuka mulutnya dengan ragu-ragu, kebetulan sekali adegan di TV
channel juga sedang memperagakan hal yang sama. aku sebenarnya ingin
tertawa. Tapi kutahan, karena gengsi kalau dia tahu. Dikulumnya penisku.
aku berdiri di atas ranjang. Dia berjongkok dan mulai menggerakkan
kepalanya maju mundur.
“Ahh..” aku mengerang merasa nikmat sekali.
Kulihat matanya sesekali melirik TV. Biar saja, pikirku dalam hati.
Toh ini demi keuntunganku. Dijilatinya kepala kemaluanku. Tapi dia tidak
berani menatap wajahku.
“Auhhgghh..”
“Jangan dilepas..” seruku tertahan.
aku jongkok dengan mengarahkan kepala ke sela pahanya. aku telentang
di bawah. Posisi kami sekarang 69. Sewaktu berputar tadi dia menggigit
kemaluanku agar tidak lepas dari mulutnya. Lucu memang. Dengan bibir
kemaluan tepat di atas wajah, kujilati dengan mantap. Kali ini gerakan
lidahku liar mengitari permukaan kemaluannya. Sesekali kusedot bukit
kecil itu sambil memasukkan hidungku yang kebetulan mancung ke lubang
senggamanya.
“Oghh.. Ahh..” Kami berseru bersahutan. Kubalikkan tubuhnya. Sekarang
dia ada di bawah, namun tetap 69. Kali ini aku lebih leluasa menjilati
kemaluannya.
“Augghh.. Donhh.. enakkhh.. terusshh..” pintanya.
Lalu kembali menyantap penisku dengan garang. Sesekali aku merasakan
gigitan kecil di sekitar kepala kemaluan. Pintar juga dia, pikirku dalam
hati.
Lidahku kujulurkan masuk ke lubang sempit itu dan menari di dalamnya.
Pantatku kugoyang naik-turun agar sensasi batang kemaluan yang berada
di kulumannya bertambah asyik. Sambil menjilat liang kemaluan itu,
jari-jariku mempermainkan bibir kemaluannya.
“Ougghh.. Don.. enakkhh.. Donnhh.. ahh.. Donnhh..” serunya dibarengi
aliran hangat yang langsung membanjiri lembah merah muda itu.
“Sekarang waktunya Nin.”
aku mengambil posisi duduk di antara belahan kedua kakinya. Dia masih
telentang. Kugesek lagi kepala kemaluanku yang sudah mengeras sempurna
beradu dengan klitorisnya yang menegang. Dia setengah duduk dengan
menahan tubuhnya pakai siku tangan, dan ikut menyaksikan beradunya
penisku dengan klitorisnya yang sudah menjadi genit. Penisku itu
kuarahkan ke liang kemaluannya. “
“Jangann.. kumohon Donh.. jangan..” serunya tertatih sambil mencengkeram penisku.
“aku bersedia memuaskan nafsumu, dengan cara apa saja, asal jangan mengorbankan pusakaku.”
“Oh ya? Kalau dari anus mau nggak?” tantangku.
Tapi sebenarnya aku tidak lagi perduli karena kemaluanku sudah minta dihantamkan melesak lubang kemaluannya.
“Yah.. terserah kamu Don..”
“Nggak.. mau.. aku cuma mau yang ini, ini lebih enak..” teriakku sambil menunjuk liang kemaluannya.
“Nih.. pegang.. masukin..” Dengan ragu dipegangnya penisku.
“Don.. apa tidak ada cara lain?”
“Cara lain? Ada-ada saja kamu.. Hei.. kamu jangan bertingkah lagi
ya.. jangan sampai kesabaranku hilang. Kamu beri satu milyar pun
sekarang aku nggak bakalan mau melepaskan punya kamu itu sekarang. aku
sudah nggak tahan.. paham.. paham? paham..?” bentakku dengan nada suara
lebih meninggi. Pisau yang tadi kusembunyikan di bawah kasur kuacungkan
dan kutekan kuat di dadanya.
“Donn.. sakitt.. jangann..” rintihnya ketika pisau tadi melukai dada putihnya. aku terkesiap. Namun tak peduli.
“Ayo.. dimasukin..” kali ini pisau kutekan lagi.
Darah segar mengalir perlahan dari luka yang kuperbesar, walau tidak begitu parah.
Dengan berat disertai ketakutan, dipegangnya kemaluanku. Diarahkannya ke liang kemaluannya.
“Sulit.. sakitt.. Don.. ampunn.. Don..”
“Pegang ini”, kataku tidak sadar karena memberikan pisau itu ke
tangannya. Dia juga tidak menyadari kalau sedang memegang pisau. Lucu
sekali. aku hanya bisa tersenyum kalau mengingat masa itu. aku menunduk
dan menjilati kemaluannya. Dia melihatku menjilati barangnya. Sesekali
kami bertatapan. Entah apa artinya. Yang pasti aku merasa sudah memiliki
mata sipit yang menggemaskan itu. Digerakkannya pinggul besarnya
seirama jilatanku. Kuremas juga susunya yang segar merekah.
“Augghh.. Ahh..” jilatanku kupercepat. Cairannya mengalir lagi walau
tidak sebanyak yang tadi. akukembali duduk menghadap selangkangannya.
Tiba-tiba aku sadar kalau sebilah pisau ada di tangannya. Segera kuambil
dan kulempar ke lantai. Dia juga baru sadar setelah aku mengambil pisau
itu. Namun sepertinya dia memang sudah takluk.
“Nin.. ludahin ke bawah.. yang banyak..” kataku sambil menunjuk
kemaluannya. Kami sama-sama meludah. Kuoleskan liur yang menetes itu ke
penisku, juga ke kemaluannya. Sesekali dia juga ikut mengusap penisku
dengan air ludah yang dikeluarkannya lagi di telapak tangannya. aku
memandanginya dengan sayang. Dia juga seolah mengerti arti tatapanku
itu. akusegera mengecup bibirnya. Dia membalas. Kami berpagutan sesaat.
Kurasakan penisku bersentuhan dengan perutnya.
“Ayo dicoba lagi..”
Kali ini dipegangnya kepala kemaluanku. “Ah.. Shh”
Dan.., “Oogghh.. aahh.. Shh..”
Kepala kemaluanku masuk perlahan. Sempit sekali lubang itu. Kusodok
lagi perlahan. Dia hanya bisa menggigit bibir dan mencengkeram tanganku.
Sesekali nafasnya kelihatan sesak. Namun ada juga desah liar terdengar
lirih.
“Donnhh.. aku benci.. kaamu..”
Kusodok terus, sampai akhirnya semua penisku terbenam di liang
kewanitaannya. akutahu itu sakit. Namun mau bilang apa, nafsuku sudah di
ujung tanduk.
“Brengsek.. Donhh.. Fuuuck.. kamu.. shh.. oghh”,
aku tak peduli lagi umpatannya. Yang kurasakan hanya nikmat persenggamaan yang benar-benar beda. “Shh.. shh.. Donhh.. Donhh..”
Kupeluk dia erat-erat. Goyanganku makin liar. aku hanya bisa
mendengar dia mengumpat. Sesekali kupandangi wajahnya di sela nafasku
yang ngos-ngosan. Beragam ekspresi ada di sana. Ada kesakitan, ada
dendam, tapi ada juga makna sayang, dan gairah yang hangat. Kulihat
titik-titik darah mulai mendesak lubang sempit yang tercipta antara
batang kemaluan dan liang kewanitaannya. Seketika tagisnya meledak.
“Donhh.. bajingann.. kamuu.. jahatt.. kamu Don.. ahh.. uhh..” dia
memukul dadaku keras sekali.
Tangisnya makin menjadi. aku iba juga. Kutarik kemaluanku dari liang
kemaluannya. Darah segar mengalir memenuhi lubang yang memerah padam dan
lecet. Kemaluanku kukocok sekuat tenaga ketika spermaku muncrat. “Ahh..
ahh..” Air maniku memancar keras membasahi dada dan sebagian wajahnya.
Dia menangis sesenggukan.
“Nikmatnya memek perawan kamu Nin..” kataku tersenyum senang.
aku langsung menjilati darah segar yang sudah membasahi pahanya.
Segera kugendong dia menuju kamar mandi. Di bibir bak, kududukkan dia.
Kuambil kertas toilet dan membasuhnya dengan air. Kuusap darah yang ada
di sekitar kemaluannya dengan lembut. Darah di dadanya yang sudah
mengering juga kulap dengan hati-hati.
“Kamu puas sekarang.. bukan begitu Don?” ejeknya di sela tangisnya.
aku terdiam. aku merasa menyesal. Tapi mau bilang apa. Nasi sudah
menjadi bubur. Kubersihkan semua darah itu sampai tidak berbekas.
Kujilati lagi kemaluannya dengan lembut. aku tahu, yang ini pasti tidak
bisa ditolaknya. Benar, dia mulai bergetar. Dipegangnya tanganku dan
diremasnya jariku. Tissue yang kupegang dibuangnya, malah jemariku
dituntunnya ke sepasang dada montok miliknya. “Ahh.. shh.. sekalian
ajaa.. Don.. hamili.. aku.. biar kamu.. lebih.. puass..” katanya sambil
mengangis lagi.
aku sungguh tak mengerti. Terus terang di sana aku seperti orang
bodoh. Tapi dengan santai kujilati terus kemaluannya. Diraihnya penisku
dan dikocok-kocoknya perlahan. Kemaluanku sudah terkulai. Lama dia
mencengkeram kemaluanku sampai akhirnya bangkit. Nafsuku kembali
membara. Kugendong lagi dia, dan jatuh bersama di ranjang empuk. Kami
berpelukan dan berciuman lama sekali. Kumasukkan lidahku ke dalam
mulutnya, dan menjilati rongga mulutnya. Entah berapa kali kami saling
bertukaran air liur. Bagiku, air ludahnya nikmat sekali melebihi minuman
ringan apapun. Ketika aku berada di bawah, aku juga menelan semua
liurnya tatkala dia meludahi mulutku. Terserahlah, apakah dia marah atau
bagaimana. Sepanjang dia merasa bebas, aku melayaninya. Hitung-hitung
balas budi. Hehehe..
aku bergerak ke bawah, menjilati tiap inci sel kulitnya. Lehernya
bahkan kuberi tanda cupangan banyak sekali, walau aku tahu empat hari
lagi dia akan menikah. Peduli setan.
“Ahh.. Don.. hhsshh.. yanghh.. itu.. nikhhmatt”, serunya tertahan
ketika putingnya kusedot dan kujilati dengan bernafsu. Tanganku merayap
ke bawah dan membelai lubang kemaluannya yang masih basah. aku terus
merangkak turun, menjilati perutnya dan mengelus pahanya dengan nakal.
Sesampainya di sela paha kubuka lagi kedua kakinya, terkuaklah liang
kemaluan yang kumakan tadi. Kali ini bentuknya sudah berbeda. Lubangnya
agak menganga seperti luka lecet, namun tidak berdarah. Segera kujilati
lagi untuk kesekian kalinya. “Donn.. enakhh.. nikmathh..”
Jari telunjukku kumasukkan lembut ke lubang itu sambil menjilati
kemaluannya sesekali. “Aduhh.. duh.. enaknyaa.. Don.. jangan..
berhenti”, serunya sambil menggelinjang hebat. Pinggul itu bergerak liar
mendesak mulutku. Kutindih dia dan kuarahkan penisku. “Uhh.. sshh”,
serunya sesak ketika penisku kuhantamkan ke liang kenikmatan itu.
Goyangan demi goyangan membuat erangannya semakin ganas. Tentu saja aku
semakin beringas. Siapa tahan.
“Donhh.. bajiingann!” untuk kesekian kalinya dia mengumpatku.
Entah apa maksudnya. Kali ini dia sangat menikmati permainan
(setidaknya secara fisik, entahlah kalau perasaannya). Kepalanya
terlempar ke sana ke mari dan nafasnya mendesah hebat.
“Nin.. punyaahh.. kamuu.. assiikkh.. ahh”, seruku ketika denyutan
liang kemaluannya terasa sekali menekan penisku. Kubalik dia, sehingga
sekarang posisinya di atas.
“Don.. aku.. akan.. bunuh.. kamuu.. suatu.. saat..”
“Silakan.. saajahh..”
Kami berdua berbicara tak karuan.
“Oughh.. aihh.. sshh”, teriaknya menggelinjang sambil mencabuti
bulu-bulu dadaku. aku merasa kesakitan. Tapi biarlah. Dia sepertinya
sangat menyukai.
“Donh.. kamu.. kamu..” dia tidak melanjutkan kata-katanya.
Tiba-tiba.., “Donhh.. Donhh.. Fuck.. ah..” serunya keras sekali,
sambil menggoyang pantatnya dengan cepat dan menari-nari seperti kilat.
Bunyi becek di bawah sana menandakan dia kembali orgasme. Tapi
goyangannya tidak surut. Kucabut penisku dan menyuruhnya membelakangiku
sambil berpegangan pada sisi ranjang. Kuarahkan penisku dari belakang
dan, “Oughh.. oughh.. oughh.. oughh..” tiap sodokanku ditanggapinya
dengan seruan liar. Kugenjot terus sambil meremasi kedua susunya yang
ikut bergoyang. Lama kami pada posisi itu, tiba-tiba aku didorongnya dan
dia berdiri di hadapanku. aku ditamparnya keras dan memelukku erat.
Ditariknya aku ke ranjang dan memegang kemaluanku. Ditindihnya aku, dia
sendiri yang menghunjamkan kemaluanku ke liang kewanitaannya.
“Rasakan nihh.. bajingan.. shh”, teriaknya sambil menari-nari di atasku. aku tahu dia akan orgasme lagi.
“Aduh..Nin..” pekikku tertahan ketika sekarang dia malah menggigit punggungku.
“Don.. Don..” dia berseru kencang dan memeluk erat kepalaku di
dadanya. Kupeluk juga dia dan mengangkatnya. Kami berdiri di lantai.
Dengan posisi ini aku bisa menyodoknya dengan sangat keras. Kurapatkan
ke dinding, dan kupompa sekuat tenaga.
“Nin.. ahshh..”
“Donhh..”
aku mengeluarkan sperma di dalam kemaluannya. Dia memelukku erat
sekali. Kami berdua ngos-ngosan. Kuangkat dia ke ranjang. Kami terkulai
lemas. Kutarik kemaluanku yang melemah dengan pelan. Kutarik sprei itu
karena sudah berisi noda darah dan bercak cairan yang beragam. Kami
tergeletak berdampingan, tanpa pakaian.
“Don.. kamu berhutang padaku, suatu saat aku pasti menagihnya.”
“Hutang apa?” tanyaku.
Dia tidak menjawab. Dengan perlahan dia memejamkan mata dan tertidur.
Kupandangi wajahnya yang cantik. Tampak lelah. Hmm.. beruntung sekali
calon suaminya. Kuelus rambutnya yang lurus indah dengan lembut. Kuciumi
keningnya dan kupeluk dia. aku membenamkan wajahku di dadanya dan
terlelap bersama.
Besoknya kami bangun bersamaan, masih berpelukan. aku sadar, dia
tidak punya pakaian lagi. Segera aku keluar dan pergi ke toko terdekat.
Kubeli T-shirt dan celana pendek. Ketika kembali ke kamar, dia membisu
dan tak mau menjawab pertanyaanku. Didiamkan begitu aku tak ambil
pusing. Kupakaikan T-shirt dan celana pendek ke tubuhnya. Dia masih
tetap membisu.
“Ayo pulang..” ajakku. Dia melangkah lunglai. Kugandeng dia ke mobil,
kududukkan di jok depan. Setelah isi kamar sudah kurapikan, aku
langsung menyetir mobil. Sepanjang jalan dia hanya diam membisu.
“Nin.. aku tahu apa yang kamu rasakan. Tapi, satu hal yang aku minta
darimu.. jangan membenciku untuk apa yang kuperbuat. Bencilah kepadaku
karena aku bukanlah calon suamimu”, kataku agak kesal dengan sedikit
berdiplomasi. Dia memandangku dengan gundah. Namun tetap membisu. Sampai
di daerah rumahnya pun dia tetap diam.
“Oke.. Nin.. aku tak tahu apa yang kamu inginkan. Jika ada yang ingin kamu utarakan, lakukanlah sekarang sebelum aku pergi.”
Dia hanya diam membisu. Dipandanginya aku agak lama. Karena tidak ada
jawaban, kudekati dia dan kucium tangannya. Dia tidak bereaksi.
“Bye.. Nin..” aku segera beranjak pergi.
Empat hari kemudian aku memang secara diam-diam mendatangi daerah
rumahnya. Benar, dari informasi yang kudapat dia memang sedang
melangsungkan resepsi pernikahan di sebuah Resto mewah di pusat kota.
Tapi aku tidak pergi melihatnya. Siapa tahu itu hanya akan jadi luka
baru baginya. Pertemuanku terakhir dengannya terjadi di salah satu kafe
di Surabaya. Saat group-ku manggung, aku melihatnya duduk di depan
bersama seseorang (mungkin suaminya).Cerita Seks Kenikmatan, Cerita Tante Girang, Cerita Seks Teman
Sekantor, Cerita seks dewasaCerita Dewasa Terhits, Cerita Mesum, Cerita Bokep,
Cerita Porn, Cerita Seks Dewasa, Foto Sex secara gratis dan selalu update || Puasin Calon Istri Orang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar