Menikmati Tubuh Teman Kerja
tersyuur adalah Blog yang menampilkan Cerita Sex Terbaru 2016, Cerita Seks Kenikmatan, Cerita Tante Girang, Cerita Seks Teman Sekantor, Cerita seks dewasaCerita Dewasa Terhits, Cerita Mesum, Cerita Bokep, Cerita Porn, Cerita Seks Dewasa, Foto Sex secara gratis dan selalu update || Cerita Sex Menikmati Tubuh Teman Kerja
Nama panggilanku Sari. Aku berusia 25 tahun dan bekerja di sebuah perusahaan
swasta di Surabaya pada posisi yang cukup menyenangkan baik secara status
maupun secara ekonomi. Aku seorang blasteran Jawa-Jepang, namun secara fisik,
banyak orang mengira aku keturunan Chinese karena warna kulitku putih dan
mataku tidak lebar. Rambutku pendek seleher. Aku tergolong wanita yang kurus
dengan tinggi badan 176 cm dan berat 59 kg.
![]() |
Cerita Sex Menikmati Tubuh Teman |
Waktu itu akhir bulan Juni 99. Karena akhir bulan, seperti biasa aku sibuk
membaca dan mengevaluasi laporan hasil kerja anak buahku, dan menuliskan
laporan untuk atasanku. Karena waktu sudah sangat sempit, aku memutuskan untuk
bekerja overtime sampai selesai. Gedung perkantoran tempatku bekerja tergolong
pelit, mereka mematikan lampu dan listrik utama setelah lewat pukul enam sore.
Karena itu aku menyewa sebuah ruang khusus yang memang disediakan gedung itu
untuk orang-orang yang ingin lembur. Ruangan itu kecil sekali, sekitar 3×3
meter, tidak berjendela, sehingga terkesan seperti dikurung dalam sebuah kotak korek
api, dan AC-nya tidak begitu dingin. Namun karena tuntutan karier, ya sudahlah,
aku langsung menginput data ke dalam notebook untuk diemailkan pada kantor
pusat. Tak terasa, aku sudah bekerja hingga pukul delapan malam.
Karena AC yang kurang bagus, aku merasa kegerahan dan haus. Aku ingat, di
luar bilik kecil ini, di dekat lift, ada sebuah dispenser air minum, aku segera
berdiri dan keluar dari ruang itu untuk mengambil air minum. Ketika aku membuka
pintu, aku melihat seorang pria sedang mengambil air di dispenser itu. Nah, aku
lega bahwa ternyata dispenser itu bekerja. Aku segera menghampiri dispenser
itu, mengambil gelas, dan menuangkan air ke gelasku. Pria yang sedang minum
tadi tersenyum menyapaku, aku tersenyum balik, sekedar ramah tamah basa-basi.
Pria itu berbadan besar, tingginya sekitar 180-an lebih tinggi dariku yang
tergolong jangkung. Ia tidak terlalu kurus atau gemuk, meskipun tidak juga
berbentuk seperti binaragawan. Tubuhnya terbungkus rapi oleh kemeja Kenzo warna
hijau muda dan di lehernya terikat dasi bercorak ramai khas Gianni Versace.
Wajahnya pun biasa saja, tampang orang pengejar karir di usia pertengahan
duapuluhan.
“Sedang lembur juga, Mbak?”, Tanyanya mencoba mencairkan suasana sepi.
“Iya, biasa, Mas, akhir bulan. Pas hari Jumat lagi.”
“Oh, pasti lagi nyelesaikan progress report yah?
“Iya, untung udah selesai barusan.”
“Wah, baguslah. Eh, omong-omong, Mbak kantornya di lantai berapa?”.
“Di lantai sebelas, di PT (perusahanku). Kalau Mas?”.
“Saya di lantai delapan, di PT (perusahaannya).””Oh, wajarlah kalau kita nggak pernah ketemu”.
“Haha, iya, rupanya ada gunanya juga lembur. Kita bisa saling kenal.” Pria itu berkesan begitu sopan dan ramah, matanya sedari tadi memandang hanya ke mataku, tidak ke arah kemejaku yang dua kancing atasnya terbuka, sehingga nampak putihnya kulit dadaku mengintip keluar.
“Oh iya, kita belum kenalan, Namaku Ditto.” Katanya sambil mengulurkan tangannya mengajak berjabatan tangan.
“Aku Sari.” Jawabku sambil tersenyum semanis yang aku bisa.
“Sari pulang nanti naik apa?”.
“Oh, aku bawa mobil sendiri. Kalau kamu?”.
“Aku naik mobil juga…, Eh, Sari keberatan nggak kalau kita makan malam bareng setelah ini?”.
Wah, orang ini ‘direct’ juga yah? pikirku kegirangan.
“Boleh aja, apa Ditto nggak ada yang nungguin di rumah?”.
“Ah, belum kok.” Jawabnya sambil mengerdipkan mata kiri dan tersenyum manis.
“OK, aku akan beres-beres dulu yah!”, Kataku sambil melangkah balik ke bilikku.
“Iya, biasa, Mas, akhir bulan. Pas hari Jumat lagi.”
“Oh, pasti lagi nyelesaikan progress report yah?
“Iya, untung udah selesai barusan.”
“Wah, baguslah. Eh, omong-omong, Mbak kantornya di lantai berapa?”.
“Di lantai sebelas, di PT (perusahanku). Kalau Mas?”.
“Saya di lantai delapan, di PT (perusahaannya).””Oh, wajarlah kalau kita nggak pernah ketemu”.
“Haha, iya, rupanya ada gunanya juga lembur. Kita bisa saling kenal.” Pria itu berkesan begitu sopan dan ramah, matanya sedari tadi memandang hanya ke mataku, tidak ke arah kemejaku yang dua kancing atasnya terbuka, sehingga nampak putihnya kulit dadaku mengintip keluar.
“Oh iya, kita belum kenalan, Namaku Ditto.” Katanya sambil mengulurkan tangannya mengajak berjabatan tangan.
“Aku Sari.” Jawabku sambil tersenyum semanis yang aku bisa.
“Sari pulang nanti naik apa?”.
“Oh, aku bawa mobil sendiri. Kalau kamu?”.
“Aku naik mobil juga…, Eh, Sari keberatan nggak kalau kita makan malam bareng setelah ini?”.
Wah, orang ini ‘direct’ juga yah? pikirku kegirangan.
“Boleh aja, apa Ditto nggak ada yang nungguin di rumah?”.
“Ah, belum kok.” Jawabnya sambil mengerdipkan mata kiri dan tersenyum manis.
“OK, aku akan beres-beres dulu yah!”, Kataku sambil melangkah balik ke bilikku.
Aku segera mengemasi notebook dan kertas-kertas kerjaku secara terburu-buru.
Ada yang aneh di pikiranku. Aku merasakan ada gairah yang mendorongku untuk
berhubungan lebih intim dengan Ditto. Padahal orangnya biasa saja, kulitnya
rada gelap, rambutnya cepak, wajahnya biasa saja meski ukuran tubuhnya memang
cukup besar untuk ukuran orang sini. Tapi cara dia bicara, cara dia tersenyum,
cara dia memandang mataku, benar-benar hangat, namun tidak nakal atau kurang
ajar. Nyatanya, ia tidak berusaha mencuri pandang ke arah yang tidak-tidak
seperti pria lainnya yang pernah ketemu aku. Hmm… Kira-kira apakah dia ada
keinginan untuk bercumbu denganku atau tidak yaa?
Selagi aku asyik mengkhayalkannya, terdengar ketukan di pintu.
“Masuk!” Kataku sambil berharap bahwa itu adalah Ditto.
Selagi aku asyik mengkhayalkannya, terdengar ketukan di pintu.
“Masuk!” Kataku sambil berharap bahwa itu adalah Ditto.
Ternyata benar, Ditto berdiri di pintu itu sambil menenteng tas notebook di
tangan kanannya. Dasinya telah dilepas, dan kancing bajunya terbuka yang di
atasnya, sehingga nampak rambut-rambut halus di situ.
“Gimana, udah selesai?”, Tanyanya.
“Iya, udah, tapi sewa overtime nya sampai jam sepuluh nih, jadi masih rugi kalau aku tinggalkan sekarang!” Aku mencoba mengajak bercanda.
“Haha, pelit juga kamu, Sar! Boleh aku masuk?”.
“Silakan aja, asalkan kamu nggak keburu pulang”.
“Ah, nggak kok, ini kan Jumat, biasanya juga pulang telat”.
“Biasanya kemana aja kalau Jumat malam?”.
“Paling-paling pergi sama teman-teman main badminton atau basket”.
“Oh, seru dong? Apa sekarang nggak ditungguin teman-temannya?”.
“Ah, mendingan juga di sini nemenin Reni. Sekali-kali boleh kan ganti suasana?”Kami kembali tertawa-tawa.
“Gimana, udah selesai?”, Tanyanya.
“Iya, udah, tapi sewa overtime nya sampai jam sepuluh nih, jadi masih rugi kalau aku tinggalkan sekarang!” Aku mencoba mengajak bercanda.
“Haha, pelit juga kamu, Sar! Boleh aku masuk?”.
“Silakan aja, asalkan kamu nggak keburu pulang”.
“Ah, nggak kok, ini kan Jumat, biasanya juga pulang telat”.
“Biasanya kemana aja kalau Jumat malam?”.
“Paling-paling pergi sama teman-teman main badminton atau basket”.
“Oh, seru dong? Apa sekarang nggak ditungguin teman-temannya?”.
“Ah, mendingan juga di sini nemenin Reni. Sekali-kali boleh kan ganti suasana?”Kami kembali tertawa-tawa.
Ia duduk di meja kerja, sementara aku duduk di kursi kerjaku yang tadi.
“Wah, panas sekali di sini…, AC-nya kurang bagus yah?” Katanya sambil menggulung lengan bajunya ke atas, dan membuka satu lagi kancing baju di dadanya. Aku menahan diri untuk tidak melihat ke arah rambut-rambut di dadanya.
“Sar, kamu nggak panas pakai blazer di ruang kaya gini?” Tanyanya dengan nada yang terkesan wajar, meski mungkin saja tujuannya nakal.
“Well, sebenarnya iya sih…, boleh nggak aku copot blazernya?”
“Hahaha, kok pakai minta izin segala sih? Memangnya aku Papa mertua kamu?”.
“Wah, panas sekali di sini…, AC-nya kurang bagus yah?” Katanya sambil menggulung lengan bajunya ke atas, dan membuka satu lagi kancing baju di dadanya. Aku menahan diri untuk tidak melihat ke arah rambut-rambut di dadanya.
“Sar, kamu nggak panas pakai blazer di ruang kaya gini?” Tanyanya dengan nada yang terkesan wajar, meski mungkin saja tujuannya nakal.
“Well, sebenarnya iya sih…, boleh nggak aku copot blazernya?”
“Hahaha, kok pakai minta izin segala sih? Memangnya aku Papa mertua kamu?”.
Humornya membuatku tertawa geli, tapi juga sekaligus membuatku ingin berbuat
lebih jauh dengannya. Maka aku berdiri dari kursi, dan melepaskan blazerku
dengan gaya yang aku buat-buat agar nampak seksi. Aku menunggu apa reaksi dia
kalau dia melihat bahwa ternyata kemeja yang aku kenakan ini tidak berlengan,
sehingga kehalusan bahuku bebas dilihatnya.
“Wah, ternyata nggak ada lengannya toh?, Bisa-bisa nanti orang hanya menempelkan selembar kain saja di bawah blazer”. Candanya mengomentari.
“Sialan, aku kira kamu akan bilang aku seksi, Dit!”, Jawabku menggoda.
“Hah? wah, kalau itu sih…, apa kamu masih kurang yakin? sampai-sampai aku perlu meyakinkan diri kamu lagi?”
“Hihihi, ada-ada saja. Tapi thanks lho!”, Kataku sambil mengerdipkan mata.
“Wah, ternyata nggak ada lengannya toh?, Bisa-bisa nanti orang hanya menempelkan selembar kain saja di bawah blazer”. Candanya mengomentari.
“Sialan, aku kira kamu akan bilang aku seksi, Dit!”, Jawabku menggoda.
“Hah? wah, kalau itu sih…, apa kamu masih kurang yakin? sampai-sampai aku perlu meyakinkan diri kamu lagi?”
“Hihihi, ada-ada saja. Tapi thanks lho!”, Kataku sambil mengerdipkan mata.
Lalu dengan gaya yang kocak ia menceritakan bahwa seorang pialang saham
ulung akan lebih merasa tersanjung bila dipuji atas kepandaiannya memasak
daripada atas kepiawaiannya menganalisis saham. Wow, aku jadi merasa tersanjung
juga karena itu berarti dia mengakui keindahanku.
Tiba-tiba dia berkata lagi, “Kamu nggak minta dipijitin sekalian, Sar? Kan kalau di film-film semi, adegan cewe buka blazer dilanjut dengan adegan pijit itu trus berlanjut dengan adegan yang biasanya disensor?”.
Tiba-tiba dia berkata lagi, “Kamu nggak minta dipijitin sekalian, Sar? Kan kalau di film-film semi, adegan cewe buka blazer dilanjut dengan adegan pijit itu trus berlanjut dengan adegan yang biasanya disensor?”.
Ya ampun…, caranya begitu jantan sekali dan sama sekali nggak kurang ajar…,
Aku jadi luluh juga dibuatnya, dan aku jadi rela untuk menyerahkan tubuhku
padanya…, meski sebenarnya akulah yang menginginkannya.
Aku segera menjawab, “Terserah deh, tapi nggak usah disensor juga nggak apa-apa kok”.
“OK deh, itu berarti adegan yang disensor itu bisa aja dilakukan nanti?”Katanya, sambil berdiri di belakang kursiku dan mulai memijit bahuku.
Kami terdiam sejenak, ia memijit bahuku lewat kemejaku. Rasanya mantap juga, tapi tali bra yang kukenakan terasa menyakitkan sedikit. Dan dia bukannya tak tahu itu, ia menyingkapkan kemeja tanpa lenganku ke bawah, sehingga kini pundakku terpampang di hadapannya.
“Huh, tali ini menggangguku memamerkan keahlianku memijit!” Katanya sambil menyingkirkan tali bra ku ke samping, aku jadi merasa begitu seksi, ditelanjangi perlahan-lahan seperti ini membuat pikiranku jadi aneh-aneh.
“mm…, nikmat sekali Ditt…”, Kataku sambil menikmati pijitannya yang memang nikmat dan membuatku menggeliat-geliat sedikit.
Aku segera menjawab, “Terserah deh, tapi nggak usah disensor juga nggak apa-apa kok”.
“OK deh, itu berarti adegan yang disensor itu bisa aja dilakukan nanti?”Katanya, sambil berdiri di belakang kursiku dan mulai memijit bahuku.
Kami terdiam sejenak, ia memijit bahuku lewat kemejaku. Rasanya mantap juga, tapi tali bra yang kukenakan terasa menyakitkan sedikit. Dan dia bukannya tak tahu itu, ia menyingkapkan kemeja tanpa lenganku ke bawah, sehingga kini pundakku terpampang di hadapannya.
“Huh, tali ini menggangguku memamerkan keahlianku memijit!” Katanya sambil menyingkirkan tali bra ku ke samping, aku jadi merasa begitu seksi, ditelanjangi perlahan-lahan seperti ini membuat pikiranku jadi aneh-aneh.
“mm…, nikmat sekali Ditt…”, Kataku sambil menikmati pijitannya yang memang nikmat dan membuatku menggeliat-geliat sedikit.
Tangannya dengan mantap memijiti pundak dan leherku, membuatku merasa begitu
rileks, dan terus terang saja…, terangsang. Tiap kali jemarinya yang hangat itu
menyentuhku, rasanya begitu nikmat hingga aku mengerang keenakan.
“mm…, mm…, aduuh, enaknyaa…, boleh juga tangan kamu, Dit!”
“Eh, rintihannya jangan dibuat-buat gitu dong! Nanti aku jadi ingin mijit bagian yang lain!”. Ia membuatku jadi makin terangsang dengan pilihan katanya yang selalu di luar perkiraanku.
“Berarti kalau aku merintih-rintih yang dibuat-buat, kamu pijit bagian yang lain yah?”
“OK! Setuju!” Candanya dengan nada seperti orang sedang rapat kampung. “Aahh… mmhh…, Ohh..” Rintihku aku buat-buat sambil bercanda.
“mm…, mm…, aduuh, enaknyaa…, boleh juga tangan kamu, Dit!”
“Eh, rintihannya jangan dibuat-buat gitu dong! Nanti aku jadi ingin mijit bagian yang lain!”. Ia membuatku jadi makin terangsang dengan pilihan katanya yang selalu di luar perkiraanku.
“Berarti kalau aku merintih-rintih yang dibuat-buat, kamu pijit bagian yang lain yah?”
“OK! Setuju!” Candanya dengan nada seperti orang sedang rapat kampung. “Aahh… mmhh…, Ohh..” Rintihku aku buat-buat sambil bercanda.
Tiba-tiba tangannya langsung turun meremas kedua payudaraku yang masih
terbungkus bra itu. Tangannya diam di situ, dan dia bilang, “Tuh kan? apa aku
bilang? kalau kamu buat-buat gitu, tanganku jadi memijit bagian yang lain!”
Katanya sambil bercanda…, padahal aku sudah mabuk kepayang dan ingin tangannya
segera meremas kedua payudaraku.
“Udahlah Dit…, sekarang kita mulai aja deh”, Kataku dengan nada serius.
“Baiklah, Saya juga ingin melakukannya sejak tadi, kalau kamu yang minta oke lah!”, Katanya.
“Udahlah Dit…, sekarang kita mulai aja deh”, Kataku dengan nada serius.
“Baiklah, Saya juga ingin melakukannya sejak tadi, kalau kamu yang minta oke lah!”, Katanya.
Ia pun langsung menurunkan bra-ku ke bawah, hingga kedua susuku kini terbuka
lebar. Ia memutar kursiku hingga kami kini berhadapan. Ia berlutut di depanku,
matanya menatap mataku yang telah sayu terlanda birahi. Aku menggerakkan
tanganku untuk melepas kacamata minusku, namun ia menghalanginya.
“Nggak apa-apa, Sar…, Aku senang melihat kamu dengan kaca mata itu…, seksi sekali!” Katanya sambil mengedipkan mata kiri.
“Nggak apa-apa, Sar…, Aku senang melihat kamu dengan kaca mata itu…, seksi sekali!” Katanya sambil mengedipkan mata kiri.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar